Mentari
pagi sedang sungkan memberikan kehangatan, kurasa dingin yang menusuk amat
dalam hingga menusuk tulang bahkan menembus dinding jiwaku. Kau berjalan di belakangku
(lagi) masih saja berusaha bersembunyi. Bukankah kau akan merasa lebih baik?
Jika kau berjalan disampingku? Kau selalu saja begitu. Bungkam selalu bungkam,
diam selalu diam. Siapa aku bagimu? Lihatlah aku tataplah mataku. Sesekali aku
ingin menjadi mata indahmu agar aku dapat merasakan bagaimana kau melihatku
ketika kita berdua saling menatap.
Mengapa
sulit untuk mengucapkan sepatah kata pun? Sesulit itukah bagimu? Sesulit apapun
kau mencoba untuk mengutarakannya. Lihatlah aku yang masih disini dan tetap
disini dengan kesamaan. Apakah kau tak percaya? Apakah kau masih meragukan
mataku? Sekali lagi lihatku senyumku. Apakah kau tak melihat ketulusannya?
Lantas dengan cara apakah untuk meyakinkan dirimu? Sudah cukupkan saja. Buang
semua keraguan itu dan datanglah padaku. Ungkapan nyata yang dapat merenggut
jiwa.
Langkah
kakiku membawaku menuju ruang kelasku yang nyatanya masih sepi tak ada satu pun
temanku yang ada didalam. Dia yang berjalan di belakangku telah berlalu menuju
ruang kelasnya. “Masih sama saja.” Ucapku lirih seraya meletakkan tasku. Aku
terjebak dalam fase penantian yang tak kunjung berujung, tak kunjung terjawab
hingga saat ini. Apa yang harus kupilih di posisiku yang seperti ini? Berjalan
untuk maju tanpa kepastian atau mundur dengan sia – sia? Biarlah waktu
yang akan menjawab ia mengerti aku tak akan selamanya seperti ini. Ku ambil
secarik kertas dan kugoreskan tinta untuk mengisi kosongnya kertas itu
Cinta,
bagaimana aku mendefinisikannya? ketika aku mulai menemukan secarik senyuman
tulus dan matamu yang meneduhkanku.
“Vania lagi nulis apa sih?” ucap
seseorang yang tiba – tiba datang dari belakang dan ternyata itu Sarah temanku.
“Ah nggak kok Sar, lagi iseng aja nulis – nulis hehe” ucapku seraya melipat
kertas itu. “Oh gitu. Eh gimana kamu sama Verrel? Masih sama aja?” Tanya Sarah
kepadaku. Pertanyaan Sarah bagaikan panah yang melesat hingga menusuk dinding
jiwaku. Aku terdiam sejenak dan akhirnya menjawab pertanyaannya “Iya Sar. Aku
nggak tau lagi harus dengan cara apa agar membuatnya yakin tentang perasaan
ini.” Ucapku yang berusaha tegar menjawab pertanyaan itu. “Nggak semua lelaki
itu dengan mudahnya menyatakan perasaannya Van, kamu harus tahu itu. Ucap Sarah
yang berusaha menenangkanku. Aku hanya menatap kosong dan tak lama kemudian
kelas pun menjadi riuh karena kehadiran teman – temanku yang lainnya. Bel masuk
berbunyi pelajaran pun telah dimulai.
Jam telah menunjukkan pukul 15.30
bel berbunyi para siswa berhamburan keluar dari ruang kelas dan bergegas
pulang. Aku segera merapihkan segala macam buku yang kubawa dan setelah itu
kumasukkan kedalam tas. Temanku Sania telah menunggu di ambang pintu kelasku.
Sania adalah sahabatku sejak SMP dan dia teman sekelas Verrel. Aku segera
bergegas menemuinya “Van ada kabar baik!” ucap Sania yang sontak mengagetkanku
dan membuatku penasaran. “Apa sih San?” tanyaku seraya mengambil kunci sepeda
motor di dalam tasku. “Ini tentang Verrel.” Ucap Sania berbisik – bisik yang
membuatku semakin penasaran. “Yang bener? Dia kenapa?” tanyaku lagi. “Jadi
teman – temanku sekelas udah pada tahu tentang kamu dan dia!” Ucap Sania. “Kok
bisa? Gimana ceritanya astaga!” tanyaku pada Sania. Dia hanya tertawa terbahak
– bahak melihatku ekspresiku yang kaget mendengar kabar darinya. “Kamu ini
sebenernya bahagia kan? Hahaha” ucap Sania. “Terus tanggapan Verrel sendiri
gimana?” tanyaku pada Sania. “Dia responnya baik kok. Dia senyum terus malu
gitu haha dasar” ucap Sania. “Gitu doang? Nggak bilang apa gitu? Ah dasar.”
Ucapku dengan nada yang kecewa. “Sudahlah Van.. itu udah peningkatan!” ucap
Sania seraya merangkul pundakku. “Iya juga sih. Ya udah yuk San pulang udah
sore banget ini mah.” Ucapku pada Sania. Akhirnya kita berlalu menuju parkiran
sepeda. Dan akhirnya pulang.
Jam menunjukkan pukul 21.00 aku
duduk di meja belajarku selesai sudah tugas – tugasku dan tibalah saatnya
rutinitasku usai belajar kugeroskan lagi tintaku goresan demi goresan pada buku
diaryku.
Cinta,
bagaimana aku mendefinisikannya? ketika aku mulai menemukan secarik senyuman
tulus dan matamu yang meneduhkanku.
Kau
munafik, kau bersembunyi di belakang bayangku dan hanya mengintip dalam
kesendirianku.
Berbeda?
Jelas.
Mata
itu nyata, jadi janganlah kau bersembunyi. Senyum itu pancaranmu, jadi
janganlah menghindari ketika mata dengan mata saling bertemu.
Kita
adalah dua insan yang dipertemukan oleh kesempatan
Iya
kesempatan yang telah diciptakan oleh-Nya. –25 April 2016
Kutitipkan
rindu di sela malam berharap esok pagi kau ambil di sudut langit. Tak terasa
hari sudah larut malam dan akhirnya aku pun terlelap.
Mentari
pagi ini terik menyinari bumi ia tak sungkan memberikan kehangatannya. Aku
berjalan hari ini dia yang berjalan di belakangku entah kemana perginya.
Kulihat ke sekelilingku ku tak menemukan dirinya. Alhasil aku harus berjalan
sendirian menuju ruang kelasku. Tepat di depan kelasku kulihat sesosok Verrel
yang berdiri disana. Dan spontan saja dia menghampiriku “Van. Sudah saatnya aku
meminta maaf.” Ucapnya padaku. Aku bingung dia minta maaf untuk apa? “Maksud
kamu apa?” tanyaku. “Maaf selama ini telah lama membuatmu menunggu.” Ucapnya
kepadaku. “Jadi sekarang?” tanyaku padanya lagi. “Sudah lama. Sejak pertama
kali kita berjumpa aku merasa ada yang berbeda di antara kita. Walau kamu saat
itu seperti tidak menghiraukanku.” Ucapnya lirih seraya menundukkan kepalanya.
“Dan aku tak menyangka ternyata kamu juga menyimpan rasa untukku.” Ucapnya
lagi. Aku tersenyum mendengar perkataan yang muncul dari mulutnya dia begitu
tulus mengatakannya. “Terimakasih Verrel. Mendengar semua itu aku bahagia.”
Ucapku kepadanya. Semenjak hari itu aku dan Verrel telah bersama. Di penghujung
tahun ajaran kelas 12 ini kami menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya kita
berpisah.
0 komentar:
Posting Komentar