Minggu, 18 Februari 2018

Akhir Dari Sebuah Penantian

 Mentari pagi sedang sungkan memberikan kehangatan, kurasa dingin yang menusuk amat dalam hingga menusuk tulang bahkan menembus dinding jiwaku. Kau berjalan di belakangku (lagi) masih saja berusaha bersembunyi. Bukankah kau akan merasa lebih baik? Jika kau berjalan disampingku? Kau selalu saja begitu. Bungkam selalu bungkam, diam selalu diam. Siapa aku bagimu? Lihatlah aku tataplah mataku. Sesekali aku ingin menjadi mata indahmu agar aku dapat merasakan bagaimana kau melihatku ketika kita berdua saling menatap.
Mengapa sulit untuk mengucapkan sepatah kata pun? Sesulit itukah bagimu? Sesulit apapun kau mencoba untuk mengutarakannya. Lihatlah aku yang masih disini dan tetap disini dengan kesamaan. Apakah kau tak percaya? Apakah kau masih meragukan mataku? Sekali lagi lihatku senyumku. Apakah kau tak melihat ketulusannya? Lantas dengan cara apakah untuk meyakinkan dirimu? Sudah cukupkan saja. Buang semua keraguan itu dan datanglah padaku. Ungkapan nyata yang dapat merenggut jiwa.
Langkah kakiku membawaku menuju ruang kelasku yang nyatanya masih sepi tak ada satu pun temanku yang ada didalam. Dia yang berjalan di belakangku telah berlalu menuju ruang kelasnya. “Masih sama saja.” Ucapku lirih seraya meletakkan tasku. Aku terjebak dalam fase penantian yang tak kunjung berujung, tak kunjung terjawab hingga saat ini. Apa yang harus kupilih di posisiku yang seperti ini? Berjalan untuk maju tanpa kepastian atau mundur dengan sia – sia? Biarlah waktu yang akan menjawab ia mengerti aku tak akan selamanya seperti ini. Ku ambil secarik kertas dan kugoreskan tinta untuk mengisi kosongnya kertas itu
Cinta, bagaimana aku mendefinisikannya? ketika aku mulai menemukan secarik senyuman tulus dan matamu yang meneduhkanku­.
“Vania lagi nulis apa sih?” ucap seseorang yang tiba – tiba datang dari belakang dan ternyata itu Sarah temanku. “Ah nggak kok Sar, lagi iseng aja nulis – nulis hehe” ucapku seraya melipat kertas itu. “Oh gitu. Eh gimana kamu sama Verrel? Masih sama aja?” Tanya Sarah kepadaku. Pertanyaan Sarah bagaikan panah yang melesat hingga menusuk dinding jiwaku. Aku terdiam sejenak dan akhirnya menjawab pertanyaannya “Iya Sar. Aku nggak tau lagi harus dengan cara apa agar membuatnya yakin tentang perasaan ini.” Ucapku yang berusaha tegar menjawab pertanyaan itu. “Nggak semua lelaki itu dengan mudahnya menyatakan perasaannya Van, kamu harus tahu itu. Ucap Sarah yang berusaha menenangkanku. Aku hanya menatap kosong dan tak lama kemudian kelas pun menjadi riuh karena kehadiran teman – temanku yang lainnya. Bel masuk berbunyi pelajaran pun telah dimulai.
Jam telah menunjukkan pukul 15.30 bel berbunyi para siswa berhamburan keluar dari ruang kelas dan bergegas pulang. Aku segera merapihkan segala macam buku yang kubawa dan setelah itu kumasukkan kedalam tas. Temanku Sania telah menunggu di ambang pintu kelasku. Sania adalah sahabatku sejak SMP dan dia teman sekelas Verrel. Aku segera bergegas menemuinya “Van ada kabar baik!” ucap Sania yang sontak mengagetkanku dan membuatku penasaran. “Apa sih San?” tanyaku seraya mengambil kunci sepeda motor di dalam tasku. “Ini tentang Verrel.” Ucap Sania berbisik – bisik yang membuatku semakin penasaran. “Yang bener? Dia kenapa?” tanyaku lagi. “Jadi teman – temanku sekelas udah pada tahu tentang kamu dan dia!” Ucap Sania. “Kok bisa? Gimana ceritanya astaga!” tanyaku pada Sania. Dia hanya tertawa terbahak – bahak melihatku ekspresiku yang kaget mendengar kabar darinya. “Kamu ini sebenernya bahagia kan? Hahaha” ucap Sania. “Terus tanggapan Verrel sendiri gimana?” tanyaku pada Sania. “Dia responnya baik kok. Dia senyum terus malu gitu haha dasar” ucap Sania. “Gitu doang? Nggak bilang apa gitu? Ah dasar.” Ucapku dengan nada yang kecewa. “Sudahlah Van.. itu udah peningkatan!” ucap Sania seraya merangkul pundakku. “Iya juga sih. Ya udah yuk San pulang udah sore banget ini mah.” Ucapku pada Sania. Akhirnya kita berlalu menuju parkiran sepeda. Dan akhirnya pulang.
Jam menunjukkan pukul 21.00 aku duduk di meja belajarku selesai sudah tugas – tugasku dan tibalah saatnya rutinitasku usai belajar kugeroskan lagi tintaku goresan demi goresan pada buku diaryku.
Cinta, bagaimana aku mendefinisikannya? ketika aku mulai menemukan secarik senyuman tulus dan matamu yang meneduhkanku.
Kau munafik, kau bersembunyi di belakang bayangku dan hanya mengintip dalam kesendirianku.
Berbeda? Jelas.
Mata itu nyata, jadi janganlah kau bersembunyi. Senyum itu pancaranmu, jadi janganlah menghindari ketika mata dengan mata saling bertemu.
Kita adalah dua insan yang dipertemukan oleh kesempatan
Iya kesempatan yang telah diciptakan oleh-Nya. –25 April 2016

Kutitipkan rindu di sela malam berharap esok pagi kau ambil di sudut langit. Tak terasa hari sudah larut malam dan akhirnya aku pun terlelap.

Mentari pagi ini terik menyinari bumi ia tak sungkan memberikan kehangatannya. Aku berjalan hari ini dia yang berjalan di belakangku entah kemana perginya. Kulihat ke sekelilingku ku tak menemukan dirinya. Alhasil aku harus berjalan sendirian menuju ruang kelasku. Tepat di depan kelasku kulihat sesosok Verrel yang berdiri disana. Dan spontan saja dia menghampiriku “Van. Sudah saatnya aku meminta maaf.” Ucapnya padaku. Aku bingung dia minta maaf untuk apa? “Maksud kamu apa?” tanyaku. “Maaf selama ini telah lama membuatmu menunggu.” Ucapnya kepadaku. “Jadi sekarang?” tanyaku padanya lagi. “Sudah lama. Sejak pertama kali kita berjumpa aku merasa ada yang berbeda di antara kita. Walau kamu saat itu seperti tidak menghiraukanku.” Ucapnya lirih seraya menundukkan kepalanya. “Dan aku tak menyangka ternyata kamu juga menyimpan rasa untukku.” Ucapnya lagi. Aku tersenyum mendengar perkataan yang muncul dari mulutnya dia begitu tulus mengatakannya. “Terimakasih Verrel. Mendengar semua itu aku bahagia.” Ucapku kepadanya. Semenjak hari itu aku dan Verrel telah bersama. Di penghujung tahun ajaran kelas 12 ini kami menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya kita berpisah.

0 komentar:

Posting Komentar