Minggu, 27 Juli 2014

Ketika Harus Memilih




Allahuakbar..allahuakbar! suara adzan telah berkumandang. Aku segera bangkit dari tidurku seraya membangunkan Fiani sahabatku yang masih tertidur pulas. “Fi, ayo bangun. Udah subuh nih! Ntar telat sholat jamaah lho di marahin pak Ustadz mau kamu?” ucapku berusaha membangunkannya. “Hmm, udah subuh ya Tik?” ucap Fiani yang mulai bangkit dari kasur. “Iya udah yuk kita cuci muka terus wudhu.” Ajakku. Fiani mengangguk dan mengikuti langkahku menuju tempat berwudhu. Segera kami berlari menuju masjid, ternyata banyak santri dan santriwati yang sudah berada di masjid. “Assalamu’alaikum warrahmatullah..” pertanda sholat subuh berjamaah telah usai. Tak lupa aku berdo’a untuk keselamatanku dan orang tuaku. “Amin..” ucapku.
Setelah selesai sholat aku dan Fiani segera bergegas ke kamar untuk merapihkan kasur karena tadi belum sempat merapihkannya. “Nah, gini kan udah rapi!” ucap Fiani tersenyum puas. “Iya dong, kita gitu loh” ucapku tersenyum padanya. Setelah itu segera mandi dan langsung ke dapur untuk membantu Mbak Sinta yang bertugas menyiapkan makanan untuk para santri dan santriwati, Kulihat wanita cantik berkerudung warna ungu dengan mata yang bulat bening tersenyum manis melihat kedatanganku dan Fiani. “Assalamu’alaikum, mbak Sinta!” sapaku dan Fiani. “Walaikumsalam Santika dan Fiani, kalian tadi kemana aja?” tanya wanita itu seraya memberikan pisau kepada kami. “Heheheh iya mbak, tadi masih beresin kamar dulu.” Ucapku tertawa kecil. “Oh gitu ya sudah kalian bantu mbak ya potong sayur kangkung.” Suruhnya padaku dan Fiani. “Siapp mbak Sinta!” ucapku dan Fiani, kami bergegas memotong kangkung – kangkung tersebut. Setengah jam kemudian semua makanan telah siap di hidangkan. “Akhirnya selesai juga, makasih ya berkat kalian berdua masakannya lebih cepat matangnya.” Ucap Mbak Sinta seraya tersenyum dan mencubit pipiku dan Fiani. “Iya mbak sama – sama hehehe” ucap kami berdua.
Tak lama kemudian para santri dan santriwati bergegas menuju dapur untuk mengambil makanan. Salah satu santri berkata”Hmm.. makanannya enak nih pantesan aja yang masak aja cantik hehehe” ucap Naufal  padaku salah satu santri di Pondok Pesantren Nurul Jabbar. “Hahaha, Naufal mulai deh yaa.” Celutuk Fiani yang tiba – tiba datang dari belakang. “Hahaha, emang iya kok Santika kan emang cantik,manis,baik hati. Nggak kayak kamu Fi. Upss hehe” ucap Naufal terkekeh. “Yee, gini – gini juga aku punya fans tau.” Ucap Fiani mengerucutkan bibirnya. “Hahaha, maaf deh maaf bercanda.” Ucap Naufal menepuk pundak Fiani. “Weyy bukan mukhrim!” ucap Fiani menepis tangan Naufal. “Ya mangap! Eh maaf maksudnya hehehe.” Ucap Naufal mencoba membuat lelucon. “Nggak lucu Fal!” pekik Fiani. “Ini ceritanya lagi main drama ya?” tanyaku sinis. “Oh iya ya lupa nih hehe maaf mbak Santika.” Ucap Naufal cengar – cengir. “Iya – iya Naufal udah sana cepetan makan!” suruhku. Naufal tersenyum dan pergi meninggalkan aku dan Fiani. “Kenapa nggak kamu terima aja sih? Kasian tuh kamu PHP terus?” ucap Fiani. “Haduh! Apaan sih kamu Fi? Aku nggak PHP dia ya.” Ucapku sambil mencubit pipi Fiani. “Aduh! Sakit maaf – maaf hehe” rengek Fiani padaku. “Makannya jangan ngatain aku Fi.” Ucapku seraya melepaskan cubitanku. Ya, Naufal sudah lama menyukaiku. Sempat dia mengatakan perasaannya padaku namun aku belum bisa menjawabnya, mungkin karena itu Fiani berkata bahwa aku pemberi harapan palsu alias PHP.
Tak lama kemudian datanglah seseorang memakai baju koko berwarna ungu seraya mengambil makanan yang sudah tersedia tersenyum manis padaku. “Ini kamu yang masak?” tanyanya padaku. “Iya tapi Mbak Sinta dan Fiani juga bantu masak.” Ucapku tersenyum padanya. “Oh ya, kamu hari ini cantik sekali. Subhanallah” Ucapnya seraya memandang wajahku. “Syukran Alhamdulillah terimakasih Iqbaal.” Ucapku sedikit malu karena di puji oleh seseorang yang aku cintai. Iqbaal hanya tersenyum dan langsung meninggalkanku setelah mengambil makanan. “Ahemm.. ada yang lagi nge-fly di puji sama Iqbaal nih.” Ucap Fiani mengejekku. “Enggak kok biasa aja.” Ucapku dengan cuek. Ya, Iqbaal adalah santri yang banyak di sukai oleh santriwati di Pesantren ini. Dia baik,sholeh,tampan,pekerja keras. Tak perlu heran jika aku menyukainya.
Malam ini ada ceramah di masjid, Ustadz Jefry menjelaskan tentang cinta.Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat.”
Ucap Ustadz Jefry menjelaskan.

“Sekian ceramah kita pada malam hari ini, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Ucap Ustadz Jefry. “Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Ucap para santri dan santriwati membalas salam dari Ustadz Jefry. Para santri dan santriwati berhamburan dan bergegegas ke kamar masing – masing. Tiba – tiba seseorang memanggilku dari belakang. “Santika..” ucapnya. Segera ku balikkan posisi tubuhku ke arah belakang. Ternyata Naufal “Ada apa Fal?” Tanyaku. Naufal tersenyum dan berkata”Nggak apa – apa, kamu mau langsung tidur?” tanyanya. “Ya iyalah! Masak mau main -_- ada – ada aja kamu.” Ucapku sedikit cuek. “Hahaha maaf deh.” Ucapnya terkekeh. Naufal memang baik,humoris,sholeh, dan manis. Namun, sampai sekarang ini aku tak bisa mencintai dia. Walau dia sudah rela melakukan apapun demi aku. Tak lama kemudian Fiani datang”Heh! Udah malam juga masih berduaan. Udah deh Fal kamu cepetan pergi ke kamar deh ngapain sih gangguin Santika mulu.” Ucap Fiani dengan nada kesal. “Ye sirik aja hahaha, Ok aku duluan ya Tik.” Ucapnya tersenyum meninggalkan aku dan Fiani. Aku hanya tersenyum melihat tingkah laku Naufal yang semakin hari membuatku kesal. “Maaf kalian kok masih di sini?” Ucap seseorang dari belakang, ternyata Iqbaal. “Iya Baal tadi masih nungguin Fiani tadi ke kamar kecil.” Ucapku tersenyum manis pada Iqbaal. “Oh ya? Ya sudah sebaiknya kalian berdua segera tidur ini sudah larut malam, saya permisi dulu. Assaalamu’alaikum.” Ucap Iqbaal tersenyum manis membalas senyumanku. “Walaikumsalam...” Ucapku seraya memandang Iqbaal yang berjalan menjauh. “Subhanallah indah banget ya makhluk ciptaan Allah SWT yang satu itu.” Ucap Fiani. Halah, ayo – ayo.” Ucapku seraya menarik tangan Fiani.
Pagi ini setelah sholat subuh aku tidak bisa membantu Mbak Santi menyiapkan makanan, tiba – tiba saja aku tak enak badan aku hanya duduk di taman dekat masjid. “Kamu nggak apa – apa kan? Aku tinggal?” Tanya Fiani padaku dengan mimik wajah khawatir. “Iya, nggak apa – apa kok.” Ucapku tersenyum padanya. Aku membiarkan Fiani membantu Mbak Sinta. Aku merasa tak enak jika aku melarang Fiani membantunya karena Mbak Sinta pasti sudah mengharapkan kedatangan kami berdua. “Tumben nggak bantuin Mbak Sinta?” tanya Iqbaal yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di sebelahku, namun dia menjaga jarak duduknya. “Iya aku lagi nggak enak badan ini.” Ucapku dengan suara yang sedikit serak. “Oh iya, eh kamu sudah punya cowok belum?” Tanyanya padaku. “Belum kenapa Baal?” Tanyaku balik. Aneh mengapa Iqbaal bertanya seperti itu padaku. “Emm.. maaf sebelumnya, aku suka sama kamu. Mau kah kamu menjadi kekasihku?” tanya Iqbaal dengan penuh harapan. “A..a..apa?” tanyaku kaget memandang wajah tampan Iqbaal, Sungguh tak di sangka cowok yang selama ini aku cintai ternyata juga memiliki perasaan yang sama padaku. “Kenapa kok kaget begitu?” tanyanya padaku. Aku segera memutar bola mataku dan menundukkan kepala. “Maaf, aku belum bisa menjawabnya.” Ucapku lirih. Kedua kalinya aku belum bisa menjawab pertanyaan dari seseorang cowok. Aku masih bingung dan masih ada Naufal yang sudah lama menungguku. “Oh ya sudah kalau begitu, aku harap kamu mau menerima tawaranku itu Santika. Aku sudah lama menyukaimu tapi aku baru berani menyatakan perasaanku itu sekarang. Aku takut kamu akan menolakku” Ucapnya dengan menyesal. Aku hanya terdiam dan membisu, aku harus bisa memilih antara Naufal dan Iqbaal.
“Astaga? Apa? Kamu di dor – dor sama Iqbaal?” Ucap Fiani tak percaya. “Iya, idih lebay banget sih.” Ucapku mengerucutkan bibirku. “Hahaha, iya deh. Aku akui kamu memang cantik dan baik nggak salah Iqbaal milih kamu.” Ucapnya seraya mengelus pundakku. “Aduh iya, makasih deh. Eh serius nih aku harus pilih siapa di antara Naufal dan Iqbaal?” Tanyaku bingung mondar – mandir kesana – kemari. Fiani bengong melihat tingkah lakuku yang mungkin menurutnya aneh. “Heh? Di tanya kok diem wae to?” Pekikku. “Abisnya kamu sih mondar – mandir terus dari tadi aku kan jadi bingung, mendingan kamu ikuti kata hati kamu aja deh Tik. Pilih yang menurut kamu bisa menjaga perasaan kamu dan bisa menghormati kamu sebagai wanita.” Tutur Fiani padaku. Aku tersenyum dan menghampiri seraya memeluk teman baikku itu. “Makasih banyak ya sarannya” ucapku lembut. Fiani hanya tersenyum dan membalas pelukkanku. “Aku akan memilih Naufal ya karena dia yang pertama kali menyatakan cinta padaku. Itu mengartikan bahwa Naufal adalah cowok pemberani dan mau menanggung resiko. Sedangkan Iqbaal? Sesosok yang selama ini aku cintai baru menyatakan perasaannya setelah sekian lama ia memendam rasa padaku? Ya, aku akan memilih Naufal.” Ucapku dalam hati.
Sore ini aku akan bertemu dengan mereka berdua untuk menentukan pilihanku. Fiani sudah memberi tau mereka berdua. “Udah siap! Mereka nunggu kamu di taman deket masjid. Aku harap kamu dapat menentukan pilihanmu dengan benar ya.” Ucap Fiani memelukku sekilas. Aku tersenyum dan mengangguk. Segera aku bergegas menuju taman dan mataku tertuju oleh Naufal dan Iqbaal. Mereka berdandan sangat rapi memakai baju koko. Mereka tersenyum padaku. “Maaf ya udah nunggu lama.” Ucapku lirih. “Nggak apa – apa kok.” Ucap mereka serentak. “Jadi kamu pilih siapa diantara kita berdua?” Tanya Naufal padaku. “Iya. Siapa yang kamu pilih?” Tanya Iqbaal kemudian. Ya Allah aku sangat bingung dan aku kurang yakin dengan pilihanku tadi. Aku hanya terdiam dan menundukkan kepalaku. Beberapa menit kemudian aku berkata”Aku harap kalian bisa menerima keputusanku ini ya.” Ucapku lembut. Mereka mengangguk dan menatapku dengan penuh harapan. “Bismillah.. aku akan memilih Naufal. Maaf ya Iqbaal.” Ucapku memandang Iqbaal. “Iya nggak apa – apa kok, mungkin aku belum beruntung untuk mendapatkan gadis sesempurna kamu.” Ucap Iqbaal seraya tersenyum padaku menyembunyikan kekecewaannya kepadaku. “Ya Allah maafkan hamba telah membuat Iqbaal kecewa karena keputusanku. Berikanlah dia kekasih yang ia harapkan yang lebih baik daripada aku.” Do’aku dalam hati kecilku. Tanpa basa – basi Iqbaal pergi meninggalkanku bersama Naufal. “Makasih ya, kamu udah pilih aku. Aku janji akan bahagiakan kamu. Aku akan setia sama kamu.” Ucap Naufal memberikan janji manis padaku. “Yakin? Mau setia sama aku?” Tanyaku yang sedikit mengejeknya. “Ya iya lah.. aku bakal setia sama kamu kalau perlu sampai ke jenjang pernikahan. Hehehe..” Ucapnya seraya tersenyum padaku. “Naufal mulai kan -_- belum apa – apa juga.” Ucapku seraya mengembungkan pipiku. “Bidadariku semakin kamu marah semakin kamu cantik loh.” Ucapnya menggombaliku. Aku hanya tertawa lepas mendengar gombalan Naufal yang membuatku geli. Seketika aku teringat Iqbaal, aku merasa bersalah telah menyakiti perasaannya. Ya Allah semoga saja Iqbaal tidak akan membenciku. Amin..


Karya : Cantika Ulya Luthfiatur Rohmah

Sabtu, 26 Juli 2014

Belajar Mencintaimu



                 

Matahari mulai terbit dari ufuk timur, tanda aku harus segera bersiap – siap untuk bergegas berangkat kuliah. “Nia, yuk cepetan. Udah jam 06.00 nih, ntar kita telat lagi.” Ajakku pada Shania. Shania menjawab dengan santai”Masya’allah apaan sih masih jam segini juga. Iya deh huffttt.” Ucapnya. Ya, Shania adalah teman satu kampusku sekaligus dia satu kamar kos denganku.
Seperti biasa kami menunggu bus transjakarta di tempat pemberhentian bus transjakarta. Lima menit kemudian bus transjakarta sudah datang, banyak sekali penumpangnya padahal masih sangat pagi. “Tuh Nia, jam segini aja udah kaya gini” celutukku. Shania hanya tersenyum simpul kepadaku. Bus melaju begitu cepat dan tak terasa sampailah di Universitas Indonesia(UI) itulah tempatku menuntut ilmu selama 4 semester ini.
Ketika hendak turun aku terjatuh dan Shania berteriak”Zahra Awas!!” teriaknya. Tiba-tiba saja ada yang seseorang yang kebetulan melintas dan aku secara refleks terjatuh di pelukannya. Mataku membulat, menatap cowok berambut pirang dan berkulit putih bersih itu. “Kamu nggak apa – apa?” tanyanya padaku. Aku segera berdiri dan berkata”Nggak apa-apa kok, makasih ya.” Ucapku agak sedikit malu. Yah.. maklum saja, baru kali ini aku mengalami kejadian ini. Cowok itu tersenyum manis dan berkata”Sama-sama, oh ya perkenalkan aku Ramadhan dan kamu?”ucapnya seraya mengulurkan tangan. “Aku Zahra dan ini Shania sahabat aku.” Ucapku membalas uluran tangan cowok itu. “Hai, aku Shania.” ucap Shania yang dari tadi masih menungguku. “Oh, iya salam kenal ya.” Ucap Ramadhan. Aku tersenyum dan berkata”Iya, eh kita duluan ya Dhan.” Ucapku dengan lembut. “Iya silahkan.. Ra” ucap Ramadhan tersenyum. Aku dan Shania segera menuju kelas.
Kami berdua menelusuri koridor kampus, tiba-tiba saja Shania menyenggolku dan berkata”Ciee..ciee yang tadi kenalan sama cowok ganteng ciee...” ucapnya mengejek. Aku mengembungkan pipiku dan berkata”Dih, apaan sih Nia! Biasa aja kok.”ucapku. Kami bergegas memasuki kelas berharap dosen belum datang karena kejadian tadi yang menghambat.
Waktu jam istirahat pun telah tiba, Aku dan Shania bergegas menuju kantin. “Ra, cepetan dong!” ucap Shania seraya menarik tanganku. Aku hanya tersenyum melihat tingkah laku sahabatku itu, aku paham dia sudah sangat lapar. Segera aku mencari tempat duduk dan Shania memesan makanan. “Assalamu’alaikum..” ucap seseorang cowok yang sempat mengkagetkanku yang sedang melamun. “Wa..wa..walaikumsalam..” ucapku terbata-bata membalas salam itu. Tak di sangka Ramadhan cowok yang telah menolongku tadi. “Kamu?” ucapku. Ramadhan tersenyum manis dan berkata”Iya, ini aku Ramadhan.” Ucapnya. Aku membalas senyumannya dan berkata”Oh, hehehe iya. Kamu mau pesan makanan juga?”tanyaku padanya. Ia berkata”Iya ini, kamu juga? Nunggu siapa?”tanyanya.
Aku berkata”Ini lagi nungguin Shania dia lagi pesan makanan tuh disana.” Ucapku sambil menunjukkannya. Aku kaget Shania sudah tak ada di sana lalu kemana dia? “Nunjukin siapa Zahra?” ucap seseorang. “Eh Shania, udah di sini aja?” ucapku kaget melihat Shania yang tiba – tiba berada di belakangku. Ramadhan terkekeh melihat kami berdua. “Eh, Dhan. Gabung sama kita aja makan di sini!” ajak Shania. “Hahaha, nggak usah nanti aku ganggu kenyamanan kalian berdua.” Ucapnya dengan tatapan yang teduh. “Enggak kok Dhan, biasa aja kali sama kita! Lagian kan kita udah saling kenal.” Ucap Shania. “Hm.. tapi Zahra setuju nggak nih? Dari tadi diem aja.” Tanya Ramadhan. Aku berkata”Setuju kok.” Ucapku spontan.
Ya udah aku pesan makanan dulu ya!” ucap Ramadhan dan berlari memesan makanan.
Malam ini malam minggu seperti biasanya kami memasak makanan yang tidak biasanya kita makan setiap hari, yup! STEAK SAPI PANGGANG. Tak sesekali Shania mengejekku”Ciee.. yang mau taken sama cowok, ciee hihihi” ucap Shania. Aku hanya diam dan tersipu malu. “Hahahaha, senyum – senyum sendiri nih ye?” ucap Shania terkekeh melihat tingkah lakuku yang aneh. “Enggak kok, apaan sih kamu!” ucapku seraya mencubit pipi chubby Shania. “Aw! Sakit tau Ra.” Ucap Shania sambil meringis kepadaku. Aku tertawa melihat kelakuannya. Sangking asyiknya mengobrol tak di sangka kami lupa bahwa dari tadi belum memanggang daging sapinya (?)
Astaghfirullah! Shania!” pekikku. “Weitss, kenapa sih?” ucap Shania. “Aduh, kita lupa belum manggang daging sapinya! Walahh” ucapku. “Astaga! Iya! Walah aku kok ya lupa to? Ya sudah ayo bururan kita panggang keburu malam ntar kita kelaperan lho hahahaha” ucap Shania terbahak – bahak.
Setelah makan bersama kami segera mengabil air wudhu dan sholat isya’. Setelah itu segera kami merebahkan tubuh di kasur. “Hahh! Capek banget ya Ra!”ucap Shania mengeluh padaku. “Hahaha, iya Nia. Udahlah cepet tidur sana! Besok kan kita ke kampus!” suruhku. Shania mengangguk dan segera memejamkan matanya yang sipit itu. Aku termenung mengapa semenjak kejadian itu aku selalu terfikirkan olehnya? Sesosok cowok yang baru aku kenal. “Ramadhan..” ucapku lirih, aku tak ingin membuat Shania terbangun. “Apa mungkin aku jatuh cinta pada Ramadhan?” ucapku. “Ya Allah.. jika Ramadhan adalah yang terbaik bagiku dekatkan dia padaku, jika tidak jauhkan dia dariku.” Do’aku dalam hati.
Pagi ini aku dan Shania berangkat agak kesiangan. “Eh, ayo Nia cepetan kek jalannya.” Ucapku. “Iyaa Zahra sayang..” ucap Shania sambil tersenyum.
Sesampai di kampus mataku tertuju oleh Ramadhan. Subhanallah dia begitu tampan sekali hari ini. Ramadhan yang melihatku dan Shania segera menghampiri kami dan tersenyum. “Assalamu’alaikum... pagi para bidadari” ucap Ramadhan. “Walaikumsalam, pagi Dhan.” Ucapku dan Shania membalas salam dari Ramadhan.
Ehm.. yang di bilang bidadari itu aku apa Zahra nih? Pastinya Zahra kan?” ucap Shania terkekeh. Ramadhan hanya tersenyum. “Husshh, kamu itu kebiasaan banget.” Ucapku pada Shania. “Ndak apa – apa kok Ra, hehehe” ucap Ramadhan tersenyum manis padaku. “Iyaa hehe maaf kebiasaan.” Ucapku. Kami segera bergegas memasuki kelas masing-masing.
Jam istirahat dimulai, mahasiswa – mahasiswi berhamburan. Aku segera keluar kelas dan duduk di depan kelasku. “Sendirian aja?” ucap Ramadhan. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. “Shania kemana? Kok nggak nemenin kamu?” tanyanya.
Dia lagi ngerjain tugas sama teman – temannya.” Ucapku singkat. “Aku mau ngomong sesuatu sama kamu boleh kan?” ucap Ramadhan. “Boleh aja lah Dhan haha ada – ada aja deh.” Ucapku terkekeh. “Bismillah.. aku suka sama kamu Zahra” ucap Ramadhan padaku. Deg.. jantungku berdetak dengan cepat dan aku terdiam memandang wajah Ramadhan. “Kamu nolak aku ya? Maaf banget aku udah lancang ke kamu, aku cuman pengen kamu ngerti apa yang aku rasain. Maaf ya?” ucap Ramadhan berjongkok di hadapanku. “Iya Ramadhan, aku juga suka sama kamu. Kamu adalah lelaki pertama yang berhasil buat aku seperti ini.” Ucapku tersenyum pada Ramadhan. “benarkah itu Zahra? Apa kamu selama ini belum pernah jatuh cinta pada seseorang?" tanya Ramadhan. "Iya dan akhirnya aku belajar mencintai itu dari kamu.” Ucapku tersenyum. “Subhanallah aku nggak mengira semua ini terjadi. Jadi kita resmi kan? Hehehe” ucap Ramadhan.
Aku tersenyum dan mengangguk pertanda aku dan Ramadhan resmi menjadi sepasang kekasih “Ramadhan, aku harap kamu nggak akan pernah nyakitin perasaan aku.” Ucapku lembut. “Zahra, aku berjanji akan menghargaimu sebagai kekasihku yang kelak akan menjadi pendamping hidupku.” Ucap Ramadhan seraya mencium tanganku. “Maaf bukan muhkrim.” Ucapku. Aku dan Ramadhan terkekeh, Alhamdulillah Ya Allah engkau telah mengabulkan do’aku selama ini.

Karya : Cantika Ulya Luthfiatur Rohmah

Senin, 21 Juli 2014

Menghapus Yang Telah Terukir

2 tahun berlalu begitu cepat tak terasa kini aku sudah tak bersamanya lagi. Tak ada lagi senyum dan tawa yang mengiringi langkahku. Hanya puing – puing kenangan yang tersesisa, yang sesekali membuatku menangis dan bersedih.
Pagi itu aku berangkat sekolah sangat pagi karena ada piket, tap..tap..tap.. derap sepatuku yang mengiringi langkahku. Ternyata masih sangat sepi sekali. Aku menelusuri lorong – lorong kelas yang ku lihat hanya beberapa anak yang sudah datang. Tap...tap...tap... terdengar bunyi derap sepatu dan tepat di belakangku saat itu. Aku pun menoleh, dan ternyata Tama. Sosok Cowok yang pernah hadir di kehidupanku.
Aku hanya terdiam dan terpaku sesekali aku meliriknya berharap ia akan melirikku juga. Ternyata apa? Ia bersikap acuh tak acuh kepadaku. Seakan ia tak pernah mengenalku lagi. Aku ini memang BODOH mengapa aku masih mengharapkan Cowok seperti itu? Namun, di dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku masih mencintainya susah untuk melupakannya karena dia adalah Cowok pertama yang membuatku terpukau. “Astaghfirullah” ucapku dalam hati.
Segera ku percepat langkahku menuju kelasku, tap..tap..tap...
Fyuhh, akhirnya” ucapku sambil meletakkan tasku di bangku seraya mengambil sapu. Satu per satu bangku kelasku aku bersihkan, entah mengapa hari ini aku sangat bosan membersihkan kelasku. Setelah beberapa menit kemudian tugasku sudah selesai tiba – tiba aku merasakan pusing.. dan brakkk!! Aku terjatuh dan lemas tak berdaya entah apa yang terjadi aku terlelap.
Dan aku terbangun di sebuah ruangan yang dingin dan membuatku
Mengigil kedinginan. “Dimana ini?” ucapku kebingungan. Datanglah seseorang yang sudah tak asing lagi bagiku. Resti sahabatku sejak SD ku itu menghampiriku dan berkata “Udah bangun kamu?” ucapnya seraya terseyum. Aku berkata”Em.. iya aku dimana? Di Rumah Sakit kah?”ucapku bertanya. Resti hanya mengangkuk dan tersenyum. Ia mengambil mangkuk yang berisi bubur ayam dan berkata”Kamu makan dulu ya?” ucapnya. Aku yang masih bingung bertanya”Res, bentar deh aku tadi kok bisa ada di sini?” tanyaku.
Iya tadi kamu jatuh di kelas, tadi kamu kenapa sih?”ucap Resti seraya meletakkan manguk itu ke tempat semula. Aku mengerutkan dahiku dan bertanya – tanya pada diriku sendiri. Aku juga belum menemukan jawabannya aku lupa apa yang terjadi? “Aku lupa Res..”ucapku sambil mengerutkan dahiku. Resti tersenyum dan berkata”Sudahlah lupakan saja, yang penting kamu makan dulu ya?” ucapnya kepadaku sambil menyodorkan sendok yang berisi bubur ayam. Aku hanya menggeleng tanda aku tak ingin makan, aku merasa lemas dan malas untuk menguyah makanan. “Ayolah.. makan ntar kamu sakit lho? Ayo makan? Aku nggak mau kamu kaya gini.” Ucap Resti dengan mimik wajah yang khawatir. Aku tak tega melihat sahabat baikku itu sedih aku segera meraih mangkuk berisi bubur ayam dan memakannya. “Alhamdulillah.. kamu mau makan, hehe.. nggak mau di suapin?” ucap Resti merayuku. “Ih apaan sih kamu Res, nggak dong.” Ucapku dengan nada agak kesal. Beberapa menit kemudian aku selesai memakan bubur ayam dari Resti. Aku hanya terdiam dan tak berdaya. Badanku terasa sakit, mungkin akibat benturan ketika aku terjatuh dan pingsan di kelas. Seketika Resti menepuk pundakku dan berkata”Kamu kenapa? Mikirin apa kamu? Mikirin...” ucapnya dengan nada mengejek. Aku hanya terdiam aku tak ingin membahasnya lagi namun.. mengapa Tama selalu hadir di pikiranku? Sungguh aku tak mengerti tentang semua perasaanku ini. “Hello?? Kok diam aja? Iya kan?”ucap Resti. “Aku nggak tau Res, aku bingung sama perasaanku ini”ucapku. Resti mulai menunjukkan raut wajah yang sedih dan berkata”Kamu cerita dong? Kamu belum bisa melupakan dia?”ucapnya lembut. “Jujur, aku belum bisa ngelupain dia gitu aja. Aku masih sayang sama dia :’( tapi menurutku itu kesalahan yang amat besar. Mengapa aku mencintai seseorang Cowok yang sudah tak mencintaiku lagi?” ucapku panjang lebar. “Kamu benar, kamu nggak pantas mencintai dia. Cewek setulus kamu nggak pantas buat Cowok yang seperti dia.” Ucap Resti mensetujui perkataanku. Tes..tes...tes... air mataku mengalir deras, bagaikan hujan turun yang membasahi bumi. Aku tak kuasa menahan rasa perih dan sakit di hatiku ini. Seketika aku teringat masa – masa indah bersama Tama. Oh Tuhan.. mengapa sungguh berat rasanya aku melupakannya. “Air mata kamu itu bagaikan mutiara sangat berharga. Fikir deh, kamu Cewek yang setia,tulus, dan menerima dia apa adanya. Sedangkan dia?” ucap Resti mencoba menguatkanku.
Ck.. aku terdiam. Benar Resti memang benar, aku tak pantas menangisi Tama. “Iya Res, aku akan berusaha melupakan dia. Aku nggak mau kaya gini terus! Aku pasti bisa!”ucapku seraya menghapus air mataku. Resti memelukku dan berkata”Kamu pasti bisa, aku sangat yakin.. karena kamu adalah Cewek yang kuat.” Ucap Resti dengan nada yang lembut. Mulai hari itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk melupakkan semua yang telah terukir di hatiku.
Sejak kejadian itu juga aku selalu menjaga kesehatanku agar tak terjadi kejadian pingsan di kelas itu terulang kembali. “Bismillah..”ucapku. Aku perlahan memasuki gerbang sekolah dan segera menuju kelasku tercinta, tak sabar ingin berjumpa dengan Resti sahabatku itu. CLEK.. aku membuka pintu kelasku. “Assalamu’alaikum..” ucapku. Apa yang terjadi mengapa kelasku sangat gelap dan tiba – tiba lampu kelas menyala dan... “Walaikumsalam! SELAMAT ULANG TAHUN!!”Ucap teman – temanku serentak. Betapa terkejutnya aku saat itu. Resti membawa kue cake yang dengan lilin berbentuk angka 14. “Tiup lilinnya tiup lilinnya..! tiup lilinnya sekarang juga! Sekarang juga!” suara nyanyian teman – temanku yang nyaring membuatku sangat bahagia sampai – sampai air mataku terjatuh karena terharu. “Fuhhh” aku meniup lilin dan berdo’a dalam hati berharap aku dapat melupakan Tama dan membuka lembaran baru kembali. “Makasih ya teman – temanku! Atas semuanya!” ucapku bahagia. 


Sama – sama..!”ucap mereka. “Eh ada yang mau ngucapin ULTAH ke kamu tuh! Ditunggu di luar.” Ucap Iqbaal salah satu temanku. “Oh ya? Makasih baal.” Ucapku seraya tersenyum pada temanku itu. Tak di sangka Tama berada di luar, “ah mungkin dia kebetulan lewat kelasku” ucapku dan hendak masuk kelas kembali. “Selamat Ulang Tahun ya, semoga panjang umur. Maaf kalau aku udah ngecewain kamu.” Ucap Tama. Ku balikkan badanku dan menghampiri Tama. “Iya, makasih ya Tam, udahlah anggap aja itu sebagai pengalaman hidup buat kita. Hapus semua yang telah terukir dan buka lembaran baru dalam kehidupan kita.” Ucapku tersenyum seraya meninggalkannya dan memasuki kelas kembali. Dalam hatiku aku tak rela meninggalkannya sendirian tapi biarlah, GO MOVE ON!


Karya : Cantika Ulya Luthfiatur Rohmah